Rabu, 03 November 2010

Mbah Marijan


Ketika semua orang kasak-kusuk gelisah dan ketakutan disebabkan adanya kabar dari Badan Meteorologi dan Geofisika yang menerangkan bahwa Gunung Merapi akan meletus; pemerintah memberikan pengumuman supaya orang-orang di wilayah lereng gunung itu pergi mengungsi, menyelamatkan diri. Termasuk Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwana X juga memberikan perintah. Namun bagaimanakah sikap dan tanggapan Mbah Maridjan? Dia bergeming dan tetap tegak kukuh berdiri di situ tidak mau mengungsi. Bahkan ketika keadaan Gunung Merapi dianggap sangat membahayakan, Mbah Maridjan malah naik ke puncak gunung. Akhirnya, kenyataannya gunung tidak meletus dengan membahayakan. Orang-orang pada heran terhadap pendapat dan sikap Mbah Maridjan ini.

Mengapa Mbah Maridjan memiliki pendapat dan sikap yang seperti ini? Banyak orang yang mengira kalau Mbah Maridjan memiliki kesaktian. Mbah Maridjan memiliki ‘kedekatan’ dengan ‘penguasa gunung’. Selain itu Mbah Maridjan sejak kecil hidup dan kehidupannya berada di gunung. Nalarnya (=nalurinya-pent.) tentu saja sudah menyatu-melebur dengan dengan keadaan gunung. Mbah Maridjan berhasil membaca tanda-tanda alam, mana yang membahayakan dan mana yang tidak membahayakan. Caranya membaca tanda-tanda alam bukannya dengan jalan bersekolah tinggi, bukan dengan membaca buku-buku karya tulisan para ahli, namun dengan memakai ilmu titen. Ngelmu titen ini dipelajari dengan bersungguh-sungguh dan tekun selama menjalani hidup. Selain itu memang memiliki rasa dan perasa yang istimewa terhadap alam sekitarnya.

Dahulu, mungkin hingga sekarang, setiap ada kupu-kupu masuk ke dalam rumah atau burung prenjak berkicau riuh di kiri-kanan rumah, menandakan bahwa tidak lama lagi akan ada tamu. Ketika ada burung bence berbunyi crat-cret di kiri-kanan rumah saat malam hari, menandakan bahwa di kiri kanan rumah ada orang jahat atau pencuri. Bila kejatuhan cicak tanpa sengaja, menandakan bahwa tidak lama lagi ada berita duka kematian dari sanak-keluarga orang yang kejatuhan cicak itu. Hal-hal tersebut adalah contoh pengetrapan ilmu titen yang hingga sekarang masih dipercaya oleh sebagian orang, khususnya orang-orang di wilayah pedesaan.

Jaman sekarang apakah masih berlaku ilmu titen, sementara tanda-tanda alam yang dapat digunakan sebagai pedoman sudah tidak ada? bagi penulis, ilmu titen harus dimiliki oleh setiap orang. Karena keadaannya sudah berbeda dengan dulu, semestinya kini ya berdasar kepada keadaan yang dapat dirasakan sekarang. Contohnya; entah pagi, siang, sore, dan malam kok udara terasa panas sekali. Akan ada kejadian apa? Kenyataan alam kondisinya sudah rusak oleh tangan-tangan manusia sendiri. Pohon-pohon ditebangi. Gunung dan bukit digunduli. Tanah subur dihancur menjadi perumahan mewah.

Ilmu titen tidak terbatas pada tanda-tanda alam yang terjadi, namun juga dapat diketahui dari diri kita sendiri. Contohnya, bila ada seorang saudara kita yang bertingkah-laku tidak sebagaimana biasanya, misalnya bicara yang aneh-aneh, dapat diketahui tidak lama lagi ia akan mengalami peristiwa yang tidak biasa juga. Bila ada orang sakit parah, tidak dapat merasakan tidur nyenyak, makan tidak enak. E.. suatu ketika kok ia dapat makan dengan lahapnya. Habis banyak. Bahkan segala macam makanan terlihat enak dimakan. Bukan itu saja, ia juga tidak lagi mengeluh sakit. Ini dapat di-titen-i (diseksamai untuk diingat kaitannya) bahwa (justru) ia tak lama lagi akan menemui ajalnya. Orang tersebut memberi tanda dengan membuat senang dan puas orang lain sebelum ajal mengakhirinya. Tinggal kita sendiri yang memiliki rasauntuk membaca tanda-tanda ini atau tidak.

Yang kini masih diseksamai yaitu tanda-tanda yang kita dapati pada seorang anak bayi. Secara psikologis, keadaan bayi adalah polos dan lugu. Mampunya hanya menangis dan menangis. Selaku seorang ibu bila tidak memiliki ilmu titen di dalam urusan memelihara bayinya, akan sulit bagi si bayi nanti ia akan menjadi anak yang bahagia. Tentunya sebagai ibu memiliki hubungan perasaan yang erat dengan bayinya, sehingga mampu mempraktekkan ilmu titen dengan pas. Bila menangisnya begini berarti lapar. Bila menagisnya mengiba, berarti ia merasa sakit, dan seterusnya.

Ilmu titen sesungguhnya dimiliki setiap manusia, hanya saja tumpul-tajamnya berbeda-beda tergantung dari olah rasa dan perasa setiap diri manusia itu sendiri. Cara-cara mengolah rasa dan perasa terhadap alam dan sesama itu beraneka macam. Ada yang dengan bertapa, berpuasa, mencegah diri dari perilaku tertentu, berdoa, bermawas diri. Dengan cara-cara tersebut dipercaya manusia akan dapat menata rasa dan perasanya.

Marilah, kita semua melatih diri terhadap ilmu titen ini sejak sekarang. Mawas terhadap kiri-kanan. Membaca tanda-tanda yang diberikan oleh alam dan sesama kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar